Tentang Orang Tua [1]



Tiga hari yang lalu, seorang kawan transman curhat lewat whatsapp. Tentang orang tua.

Dia bingung, mengapa orang tuanya tetap memperlakukan dia sebagai anak perempuan. Padahal dia sudah terapi hormon, sudah berjenggot. Tetap saja papanya memanggil dia "mbak". Bahkan, jika ada orang yang memperlakukan teman ini sebagai laki-laki, sang papa akan membantah dan berkata bahwa teman kita ini anak perempuan, bukan anak laki-laki.

Lalu dia bertanya, bagaimana caranya agar orang tua bisa menerima dia sebagai seorang laki-laki.

Ingatan saya meluncur ke tujuh tahun yang lalu, saat pertama kali saya bicara dengan orang tua. Saat itu, saya ketahuan berpacaran dengan perempuan.

Banyak hal kurang menyenangkan terjadi setelah itu. Saya diminta berhenti kuliah dan kembali ke kota asal. Orang tua juga mengirim saya ke beberapa pastor, psikolog, serta psikiater. Tidak berhenti di situ, bapak saya tidak mau lagi bicara pada saya. Bahkan beliau mendatangi tempat kerja pacar saya saat itu, sehingga (mantan) pacar saya diminta mundur dari pekerjaannya.

Tujuh tahun lalu salah satu psikolog saya bilang, setiap orang tua pasti butuh proses untuk menerima anaknya. Tidak adil jika saya menuntut orang tua untuk menerima saya dalam sekejap. Beliau juga bilang bahwa yang akan menghadapi diskriminasi dan tekanan sosial itu bukan hanya saya. Orang tua juga. Karena itu saya harus membantu dan menguatkan orang tua untuk melalui proses itu, dengan cara memberi informasi yang tepat dan menjaga komunikasi.

Meskipun saya tidak pernah melupakan wejangan beliau, saya kesulitan menjalankannya. Saat itu, saya masih sangat marah pada orang tua. Baik bapak maupun ibu. Marah pada bapak, karena ia bersikap sangat keras. Marah pada ibu, karena di mata saya ibu tidak mau memperjuangkan saya. Saya membenci mereka. Saya begitu menutup diri dari orang tua, tidak mau lagi menceritakan kehidupan saya. Tiap kali pulang ke rumah, suasana rumah menjadi sangat tegang. Bapak tidak bicara pada saya, seolah saya ini bukan anaknya. Seolah saya tidak pernah ada. Ibu, tidak pernah betul-betul marah, tapi selalu mengungkapkan kekecewaannya atas "perilaku" saya.

Namun seiring berjalannya waktu, saya mulai menyadari bahwa ada hal-hal sederhana yang selalu orang tua lakukan. Setia dan tidak pernah terlambat engucapkan selamat ulang tahun, selamat natal, atau selamat paskah (padahal saya hampir tidak pernah mengirim ucapan pada mereka). Ketika saya sakit di kota perantauan, Ibu menjemput saya untuk dirawat di kota asal. Jika bapak punya kesempatan datang ke kota saya, beliau memberi kabar dan kami akan bertemu walaupun berakhir dengan saling diam. Setiap saya harus pergi jauh untuk bekerja atau berkegiatan, mereka juga akan menghubungi, memastikan saya baik-baik saja. Semua kami lakukan dalam suasana yang sangat kaku.

Ternyata, selama tujuh tahun, saya dan orang tua sama-sama berusaha untuk menjadi yang terbaik bagi satu sama lain. Pulang dari bepergian, saya selalu membawa oleh-oleh untuk bapak dan ibu, sambil berharap oleh-oleh itu bisa mencairkan suasana ketika saya pulang ke rumah. Bapak, beberapa kali mengirimkan buku untuk perpustakaan yang saya bangun. Dan ibu makin rutin sms atau telepon saya. Kalau dulu teleponnya 4-6 bulan sekali, lama2 jadi 1-2 bulan sekali. Bahkan kini dua minggu sekali. Iya. Kami sama-sama berusaha. Dengan cara masing-masing.

Melalui obrolan dengan adik-adik juga lah saya melihat usaha orang tua untuk menjadi lebih baik. Dahulu, orang tua sangat mengekang saya. Tidak boleh berkegiatan sore, teman tidak bebas datang ke rumah, bapak bersikap kasar, dan seterusnya. Pada adik, sikap mereka cenderung berubah, berbeda dengan cara mereka memperlakukan saya dulu. Jika dilihat dengan emosi sesaat, bisa saja saya menganggap mereka bersikap tidak adil, membedakan perlakuan pada anak-anaknya. Tapi, jika kita mau melihat dengan jernih, inilah usaha orang tua untuk memperbaiki diri.


Sejujurnya, baru satu tahun ini saya mampu melihat semua ini dengan baik dan jernih. Pokoknya dulu masih pakai marah. Hahaha.. Terima kasih pada semua teman yang selalu mengingatkan saya untuk melihat sesuatu tanpa kacamata kuda. :p

Awal 2015, ketika ibu dan bapak hendak datang ke sini, saya memutuskan untuk betul-betul membuka diri pada mereka. Menunjukkan tempat tinggal saya, tempat kerja, kehidupan sehari-hari, teman-teman, dan seterusnya. Tentu saja saya sudah menyiapkan hati untuk "berperang" lagi dengan orang tua, seandainya mereka menolak hidup saya ini. Kabar baiknya adalah, meskipun terkaget-kaget, mereka tidak marah. Hanya bertanya beberapa hal lalu diam.

[bersambung...]

Salam pup,
#tama
#transhitionid

1 comment:

  1. Setuju banget, sebagai anak harus belajar mengerti perasaan orang tua

    ReplyDelete

Pages